29
Nov
08

Filsafat, Behaviorisme, dan Dunia Pendidikan

First, bukannya sok pinter bahas yang kaya ginian -mengingat saya masih semester satu- tapi apa boleh buat, tugas filsafat mengharuskan saya mengucel – ucel bahasan ini 😛

 “Increasing objectivity of psychology was important; and to do this, researchers needed to concentrate only on what they could observe directly: behavior” (Watson, 1987:207)

 

Meningkatkan objektivitas terhadap psikologi adalah penting, dan untuk mewujudkan hal tersebut, peneliti harus fokus pada apa yang dapat mereka amati secara langsung: perilaku. Teori hasil perumusan Watson tersebut kemudian berhasil menjadi aliran psikologi yang diakui sebagai salah satu dari tiga kekuatan besar psikologi dunia, selain humanistik dan psikoanalis. Banyaknya ahli psikologi yang menyatakan diri menganut aliran ini semakin memperkuat eksistensi behavoristik. Kuatnya pengaruh behavioristik ikut mempengaruhi sistem pendidikan dunia, terutama dalam kurun waktu seperempat pertama abad 20 hingga 21. Dewasa ini, di dunia barat banyak pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada aliran behavioristik mengenai kebenaran atas paradigma-paradigmanya dalam memahami, menjelaskan, merekayasa, dan memecahkan perilaku manusia oleh aliran-aliran psikologi lainnya. Banyak paradigma baru yang muncul untuk menggantikan hegemoni aliran behavioristik selama beberapa dekade belakangan ini. Paradigma-paradigma baru itu adalah paradigma psikologi kognitif atau paradigma psikologi positif.

Banyak aliran-aliran lain dalam psikologi yang mengkritik aliran psikologi behavioristik mengenai cara pandang mereka yang dianggap terlalu mekanistik dan deterministik tentang manusia dan pendidikan yang menyebabkan banyak peralihan paradigma dalam bidang psikologi dan pendidikan dalam menuju pemahaman yang lebih holistik terhadap manusia. Meskipun banyak terjadi peralihan paradigma-paradigma tersebut, tetapi sisa-sisa pengaruh aliran ini masih cukup kuat di Negara Indonesia. Hal itu disebabkan karena para pemegang kebijakan pendidikan dan para akademisi pendidikan di Indonesia yang banyak mengadopsi nilai-nilai filsafat pendidikan behavioristik dalam belajar atau mengajar wacana dan praktis pendidikan pada masa lalu.

Penerapan teori behavioristik dalam mekanisme pendidikan Indonesia terlihat jelas pada sistem evaluasi Ujian Akhir Nasional dan kurikulum berbasis kompetensi. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan di Indonesia mengacu pada hasil akhir perolehan pelajar (nilai) yang mengarah pada kompetensi – kompetensi yang sudah ditetapkan dari awal.

Teori behavioristik memang telah mapan sebagai sebuah sistem dalam psikologi. Namun bila ditelaah lebih lanjut, sistem behavioristik ini akan menimbulkan pertanyaan – pertanyaan yang bersifat filosofis. Pertanyaan – pertanyaan mendasar itu antara lain: benarkah hakekat manusia tidak lebih hanya sebuah mesin yang rumit, jika pendidikan terkondisi hanya sebagai sebuah pelatihan, maka benarkah perancangan stimulus dengan harapan respon terukur mampu memberikan hasil yang maksimal.

Penelaahan lebih dalam akan menimbulkan penyimpulan bahwa behavorioristik memiliki dasar – dasar filosofis pendidikan yang meliputi dasar ontologisme, dasar epistemologis, dan dasar aksiologis hakekat proses dan tujuan.

 

Aliran filsafat yang mempengaruhi psikologi behavioristik

Behavioristik muncul dan tumbuh dengan cepat sebagai raksasa psikologi dunia. Keberadaan ini tidak luput dari peran filsafat yang mempengaruhi pembentukan akar filosofi behavior. Materialisme, empirisme, dan positifisme adalah tiga aliran besar filsafat yang memberi pengaruh besar pada Behavioristik

Aliran filsafat materialisme memiliki pandangan ontologis bahwa segala sesuatu dapat dikembalikan atau diasalmuasalkan apa hukum – hukum yang bersifat material (hanurawan, 2006:67) kaum materialistik memiliki pandangan bahwa manusia tak lebih dari sebuah susunan kompleks dari materi – materi.

Kelompok materialestik tidak mengakui adanya hal – hal yang bersifat spiritual dan holistik. Bagi mereka, segala gejala – gejala psikologis seperti emosi, persepsi, dan motivasi adalah tidak lebih dari manifesti ciri – ciri hukum dasar materi. Pandangan ini memberikan konsekuensi filosofis dalam pandangan mereka tentang problem – problem filosofis lain, seperti tidak mengakui Tuhan (atheis) karena Tuhan tidak dapat dibuktikan secara materi.

Aliran filsafat pengetahuan (epistimologi) mengenalkan pada dunia tentang metode induktif sebagai cara untuk memverifikasi ebenaran pengetahuan. Metode induktif ini terlaksana melalui analisis terhadap informasi – informasi yang bahan dasarnya berasal dari pencerapan inderawi terhadap objek – objek pengetahuan (Earle, 1992)

Aliran positivisme menjelaskan posisi epistemologinya dengan menjelaskan bahwa pengetahuan manusia tidak mungkin diperoleh berdasar pada keyakinan – keyakian teologis maupun keyakinan – keyakinan yang berasal dari pandangan filsafat – filsafat yang bersifat konvensional.

 

Penerapan Psikologi Behavioristik dalam Bidang Pendidikan

Salah satu tujuan psikologi adalah untuk mengendalikan, menelaah, dan mengarahkan kondisi jiwa manusia sehingga mampu meraih kualitas hidup yang lebih baik. Dalam konteks pendidikan maka psikologi mempunyai andil untuk membantu merumuskan sistem pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas intelejensi & spiritual manusia.

Pendidikan dalam behavioristik menekankan pada reinforcement stimulus-response, conditioning, operant conditioing, modelling. Siswa dalam teori ini dikondisikan sebagai jiwa yang aktif. Pendidikan baru dianggap berhasil jika siswa mengalami perubahan perilaku seperti yang diharapkan muncul. Perilaku dan respon itu diharapkan sama pada tiap siswa sehingga membentuk suatu keteraturan antara stimulus dan respon.

Peran guru dalam behavioristik adalah sebagai fasilitator. Guru menciptakan dan merekayasa perilaku – perilaku yang diharapkan muncul sesuai dengan silabus pendidikan. Guru juga berperan dalam mengeliminasi sifat – sifat yang tidak diharapkan. Perilaku siswa biasanya dikendalikan guru melalui penguatan positif.

Objektif pendidikan adalah tujuan spesifik proses pendidikan yang merupakan pengambangan lebih lanjut pengaruh langsung behavioristik dalam bidang pengajaran. Behavior hanya meyakini hal empiris, tidak menghiraukan kemajuan lain yang muncul namun tidak terukur. Hal ini menyebabkan teori behavior menuai banyak tekanan. Keberhasilan pelajar yang hanya diukur berdasarkan kuantitatif dinilai akan mematikan kretifitas pelajar, apalagi dalam teori ini hasil – hasil belajar yang diharapkan sudah ditetapkan diawal.

Objektif instruksional terdiri dari beberapa komponen. Beberapa komponen itu adalah: pertama, kondisi yang relevan atau rangsangan yang relevan yang mampu memunculkan perilaku pelajar yang diharapkan. Kedua, penetapan hasil perilaku siswa berdasarkan referensi umum. Ketiga adalah deskripsi tentang penetapan kriteria penilaian terhadap perilaku yang diterima dan perilaku yang tidak dapat diterima sebagai hasil proses pembelajaran.

 

Pendidikan berbasis kompetensi

Salah satu produk teori behavioristik adalah pendidikan berbasis kompetensi. Kurikulum ini seakan menjadi bukti eksistensi behavioristik walaupun teori pendidikan behavioristik dikatakan secara ekstrim sudah mati (straddon, 1993). Kurikulum ini mendistribusikan paket pendidikan ke dalam sub – sub bagian berupa standar kompetensi yang harus diraih oleh pelajar. Pencapaian pelajar kemudian diukur dengan sebuah minimum passing grade yang harus dicapai pelajar.

Teori behavioristik juga berkembang pesat di Indonesia, bahkan ditempatkan sebagai mainstream pendidikan. Cendekiawan dan ahli pendidikan Indonesia zaman dulu yang kebanyakan menempuh studi profesionalnya di benua Amerika kemudian mengadopsi teori behavioristik yang memang sedang boom pada waktu itu.

Keadaan ini juga diperkuat dengan tuntutan zaman dan globalisasi yang menekankan pada hal – hal yang empiris –bisa dibuktikan/diukur-. Behavior seakan memenuhi tuntutan tersebut. Konsep penekanan hasil yang harus dicapai pada awal dan penggunaan passing grade diyakini mampu “memaksa” peningkatan intelektual massal dan meningkatkan mutu pendidikan.

Pengukuran kualitas mutu pendidikan bukanlah hal yang mudah. Sehubungan dengan sulitnya pengukuran terhadap mutu pendidikan tersebut, maka jika orang berbicara tentang mutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan dengan hasil belajar yang dikenal sebagai hasil UAN (yang biasa disebut dengan instructional effect) karena ini yang mudah diukur. Padahal hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu. Jika proses belajar tidak optimal maka sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang bermutu. Ini berarti bahwa pokok permasalahan mutu pendidikan terletak pada masalah pemrosesan pendidikan.

Sudah sejak lama para ahli pendidikan dan kurikulum menyadari bahwa kebudayaan adalah salah satu landasan pengembangan kurikulum (Taba, 1962) di samping landasan lain seperti perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi. Ki Hajar Dewantara (1936, 1945, 1946) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan suatu bangsa. Ahli kurikulum lain seperti Print (1993:15) menyatakan pentingnya kebudayaan sebagai landasan bagi kurikulum dengan mengatakan bahwa curriculum is a construct of that culture. Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara manusia hidup dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak saja menjadi landasan di mana kurikulum dikembangkan tetapi juga menjadi target hasil pengembangan kurikulum. Longstreet dan Shane (1993:87) melihat bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal. Lebih lanjut, keduanya menulis (Longstreet dan Shane, 1993:87):

The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind’s eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.

Kedudukan kebudayaan dalam suatu proses kurikulum teramat penting tetapi dalam proses pengembangan seringkali para pengembang kurikulum kurang memperhatikannya. Dalam realita proses pengembangan kurikulum sering diwarnai oleh pengaruh pandangan para pengembang terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Pertimbangan mengenai kebutuhan anak didik dan masyarakat sering dijawab dengan jawaban mengenai adanya perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena, itu kedudukan yang penting dari kebudayaan terabaikan pula seperti halnya landasan lainnya yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum.

Secara intrinsik, filosofi, visi, dan tujuan pendidikan, para pengembang kurikulum sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pandangan hidup, dan keyakinan hidupnya. Faktor penentu filosofi, visi, dan tujuan tersebut sangat ditentukan oleh akar budaya dan kebudayaan dari para pengembang kurikulum. Ini yang dikatakan oleh Longsreet dan Shane (1993:162) dengan pernyataan we are largely unaware of the numerous, culturally formed qualities that characterize our behaviour. Oleh karena itu, baik secara langsung maupun tidak langsung, proses internal pengembangan suatu kurikulum sangat pula dipengaruhi oleh kebudayaan para pengembang kurikulum.

Landasan lain yang diperlukan dalam pengembangan kurikulum adalah teori belajar yaitu teori tentang bagaimana siswa belajar. Selama ini, orang berbicara tentang teori belajar yang dikembangkan terutama dari psikologi. Teori belajar seperti yang dikenal dalam literatur dikembangkan dari berbagai aliran dan teori dalam psikologi seperti behaviorisme (stimulus-response, conditioning, operant conditioing, modelling, dan sebagainya), kognitif (skemata, akomodasi, dan asimilasi dari Piaget, meaningful learning dari Ausubel, dan sebagainya). Teori belajar yang dikembangkan dari pandangan ini tentu saja sangat berguna dan dikembangkan berdasarkan hasil studi yang mendalam dan dalam waktu yang cukup panjang.

Sayangnya, teori belajar yang dikembangkan berdasarkan pandangan psikologi ini sering memiliki asumsi bahwa siswa belajar dalam suatu situasi yang value free atau lebih tepat dikatakan cultural and societal free. Teori-teori belajar itu tidak memperhitungkan bahwa siswa yang belajar adalah suatu pribadi yang hidup dan bereaksi terhadap stimulus (apakah dikembangkan berdasarkan teori behaviorisme atau kognitif) yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial dan budaya di mana ia hidup. Dalam bukunya yang berjudul sociocultural origins of achievement, Maehr (1974) mengatakan bahwa keterkaitan antara kebudayaan dan bahasa, kebudayaan dan persepsi, kebudayaan dan kognisi, kebudayaan dan keinginan berprestasi, serta kebudayaan dan motivasi berprestasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa.

Lebih lanjut, studi Webb (1990) dan Burnett (1994) menunjukkan bahwa proses belajar siswa yang dikembangkan melalui pertimbangan budaya menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal itu terjadi karena seperti yang dikemukakan oleh Oliver dan Howley (1992) kebudayaan governs how people share information and knowledge, as well as how they construct meaning. Peran kebudayaan yang kuat dalam upaya seseorang memahami lingkungan dan belajar dikemukakan oleh Delpit (Darling-Hammond, 1996:12) dengan mengatakan we all interpret behaviors, information, and situation through our own cultural lenses; these lenses operate involuntarily, below the level of conscious awareness, making it seems that our own view is imply, the way it is. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Wloodkowski dan Ginsberg (1995) yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah dasar dari intrinsic motivation dan mengembangkan model belajar yang dinamakan a comprehensive model of culturally responsive teaching yang menurut mereka adalah a pedagogy that crosses disciplines and cultures to engage learners while respecting their cultural integrity.


0 Tanggapan to “Filsafat, Behaviorisme, dan Dunia Pendidikan”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar




November 2008
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930